Sungguh elok sore kemarin. Jalan sebentar keliling kampus. Bersama lalu lalang mahasiswa yang baru keluar dari lab atau menuju perpus. Disuguhkan karya Tuhan yang aduhai. Yang hanya datang dua kali sebulan. Hilal, begitu orang Turki menyebut, atau bulan sabit orang kita menyahut. Tanda mulainya bulan baru di tahun yang baru.
Di antara bulan yang sedikit. Menatap gagah baling-baling tiga kisi. Transformer sang bayu untuk nyala lilin tanpa polusi. Solusi terbaik untuk dunia yang layak huni. Lalu kuambil kamera yang kian lama teronggok di lemari. Yang selama ini tanpa pernah kujamah sesekali.
Adalah aku yang sekali lagi kagum dengan negeri satu ini. Mereka sadar, tak banyak minyak, gas, dan batubara untuk digali. Kalaupun ada untuk disimpan pada saat-saat genting nanti. Saat dunia makin haus akan energi, tapi suplai tak memadai.
Adalah aku yang hanya bisa bermimpi. Mengubah deretan bukit seribu, membentang dari Semanu hingga pantai Srau, menjadinya ladang besar dari sang bayu. Daripada surga semalam dari tambang kapur, yang bakal habis sebelum kita punya anak-cucu.
Ah, sayangnya aku hanya bisa bermimpi… mimpi yang entah kapan akan terbeli.
Klik gambar untuk melihat hilal lebih jelas.
Meski hanya bermimpi.. tapi indah sekali susunan rimanya 🙂
Terima kasih Pak, 🙂
saya juga belum pernah melihat hilal
Kalau langit lagi cerah, hilal bisa dilihat tanpa alat. Aselinya sebenarnya lebih menyala, ketimbang yang difoto.
Bagus tulisan dan fotonya, sarat makna yang membuat kita merenung :)). Kebijaksanaan manusia dalam mengelola apa yang mereka punya memang pengetahuan yang sangat berharga, yang tidak semua orang punya, entah karena mereka tidak mampu untuk bijaksana atau lantaran tidak berkenan untuk menjadi bijaksana :hehe.
Itulah mengapa kita musti belajar lebih bijaksana, sebelum alam mengingatkan kita dengan cara mereka. 🙂
Setuju :)).
Damai baca tulisannya… berasa lihat hilal langsung
Cakepnya foto itu.
ah… sungguh puitis dirimu mas bro 😀