Masih ingatkah kita tentang kisah salah seorang sahabat bernama Rabi’ah Al-Aslami, sahabat yang termasuk dalam ashabus shuffah ini. Jadi jangan tanya lagi tentang betapa sederhananya kehidupan beliau.
Suatu ketika beliau yang sedang bantu-bantu urusan di rumah Rasulullah, ditanya oleh baginda Nabi.
“Mintalah sesuatu dariku wahai Rabi’ah” kemudian Rabi’ah menjawab,
“Aku ingin menyertaimu di surga”
Kemudian, Baginda Nabi bertanya lagi.
“Apakah ada lagi?”
“Cukup itu saja” jawab Rabi’ah.
“Jika demikian, bantulah aku memenuhi permintaanmu dengan banyak-banyak sujud”.
Kisah ini seakan menyengat diri kita, bahwa tak selamanya orang miskin papa itu ‘kalap’ ketika diberikan kesempatan kenikmatan. Beliau yang sederhana itu, tetap memilih satu-satunya hal ‘sederhana’ ketimbang kenikmatan dunia semacam harta dan lainnya. Padahal saat itu, Rabi’ah tengah tidak memiliki apa-apa, bahkan rumahpun sekedar ngemper di serambi masjid Nabawi.
Dan baginya, terus menemani Rasulullah hingga ke surga itu lebih dari segalanya.
***
Sadarkah kita, tentang stigma yang kita praktikkan selama ini. Bahwa orang miskin itu cenderung kriminal tinggi. Atau setidak-tidaknya berpikir; antrian akan berubah saling rebutan (saling dorong bahkan saling injak) jika sudah melibatkan kaum kelas ekonomi yang satu ini. Dengan anggapan, desakkan kebutuhan akan membutakkan tindakan. Ya gak?
Apakah stigma ini benar?
Kalau benar begitu, bagaimana dengan para koruptor, pengusaha-pengusaha kotor, hingga para garong berdasi necis dengan kopor hitamnya. Apakah mereka semiskin itu? hingga berani nekat mengambil sesuatu yang bukan haknya. Sikut sana sikut sini. Bahkan harus merusak alam demi kantong yang semakin tebal.
Karena pada kenyataanya, banyak kok orang miskin yang hidupnya termat sederhana yang berperilaku jujur, tidak kemaruk, adem ayem dengan tetangga dan alam sekitarnya. Mereka menjalani kehidupan dengan seenak-enaknya kehidupan, mengambil kekayaan alam sebatas keperluan mereka saja.
Jadi, bukan kelas ekonomi yang membuat tingkat kriminal makin tinggi. Melainkan pandangan hidup yang makin kemaruk.
Lantas, saya teringat sebuah tulisan dari Mas Diptra seorang blogger yang mencoba mendedikasikan hidupnya dengan kehidupan sederhana atau istilah beliau -hidup minimalis-. Menarik sekali.
Baginya hidup minimalis itu (seperti yang saya kutip dari blognya)
“…tidak terlalu terikat dengan benda-benda yang dimiliki. Karena jika hati terlalu terikat dengan kebendaan, maka pikiran kerap kali khawatir jika kehilangan benda-benda itu…”
kemudian
“…menyadari benda-benda dan hal-hal yang esensial dalam kehidupan kita maka dengan sendirinya benda-benda dan hal-hal yang tidak bermanfaat tersingkirkan…”
yang mana dua hal ini akan melahirkan sebuah perasaan
“Memaknai apa-apa yang sudah dimiliki bisa menumbuhkan rasa syukur di hati. Rasa syukur ini sebangun dengan kebahagiaan. Karena pada hakikatnya (harta itu) bukan saya miliki, namun hanya dititipi.”
Bahasa sederhananya, hidup minimalis itu mengambil sesuatu hanya sesuai dengan kebutuhan saja. Tidak berlebih, tidak juga sampai kekurangan. Minimalis.
Nah, adem bangetkan.
Makanya, di tengah-tengah kehidupan yang semakin materialis ini, cara hidup minamalis seakan sebuah oasis di tengah-tengah sahara. Menyejukkan.
Sepertinya metode hidup ini selaras dengan konsep Islam yang sangat menghindari sikap tabdzir (pemborosan). Perbuatan yang Allah murka karenannya.
Tapi, bukan berarti hidup minimalis itu membatasi seseorang untuk kaya. Bukan. Selama kekayaan itu diambil dengan cara yang hak, tidak atas dasar dzalim dengan orang lain dan alam sekitarnya, kemudian mendatangkan manfaat yang banyak bagi sesama tentu itu sangat dianjurkan.
Pernah baca kisah salah seorang sahabat yang hingga kini harta kekayaannya tidak pernah habis? yaitu berupa sumur dan kebun kurma yang tidak pernah berhenti memberi manfaat hingga kini? kemudian bandingkan dengan bagaimana kehidupan beliau semasa hidup?
Maka, itulah teladan kehidupan minimalis yang sesungguhnya.
Dan sahabat itu, tidak lain adalah Ustman bin Affan -semoga Allah ridha kepadanya.
***
Pesan untuk kita semua, berani hidup minimalis dari sekarang?
*Merenungi Pelajaran Hidup No. 16 sambil beres-beres lemari pakaian, yang ternyata masih aja ada pakaian nyaris tidak pernah dipakai sejak dibeli.
Pict source: anthonyuu[dot]wordpress[dot]com
Suka dengan postingan ini. Well, sudah menekan ‘suka’ juga sih. He he
Prasangka buruk terhadap kaum pinggiran (sekalipun tidak bisa di pungkiri ada benarnya juga). Tapi orang besar kalo udah buruk malah mengerikan sekali. Sesuai nih dengan teori ekonomi pembangunan, lupa dari bapak siapa. (Maklum minor)
Hidup kalaupun tak biaa minimalis kudu sustainable…
Haha benar sekali, apalagi minimalis yang sustainable dan renewable… udah top banget dah kalo ada yang begitu 😀
He he he he.. di luar udah banyak yang begini. Indonesia masih dalam tahap.. he he
Can’t agree more! 🙂
Hidup sederhana itu ibarat oasis ditengah masyarakat yang serba materialistis.
Salah satu cara hidup sederhana itu, sebisa mungkin menghindari jajan di RM Sederhana… yang harganya tidak sesuai dengan namanya itu *eh ngirit sama sederhana sama gak sih? 😀
Intinya ngirit gak bakal sederhana kalau makannya di RM sederhana 😂
Setelah makan di rumah makan sederhana hidup jadi sederhana, 🙂
inget cerita seorang temen; “mas harus resign dr pns. aku gak biasa megang uang segitu banyak,” ketika si temen itu mendapati suaminya dapat fee lumayan gede.
lain hari;
“tapinya titin gak punya banyak uang, gak punya barang ini itu,” gpp teh, hisabnya lebih ringan #jleb.
Duh, suami yg beruntung dapet istri qanaah macam begitu. *eh
Iya mbak, sekelas Abdurrahman bin ‘Auf aja masuk surga dengan merangkak… apalagi generasi kita sekarang. Punya harta tak seberapa, tapi… #jadisedih
baru mau bilang, postingan ini tumben steril dr tentang itu #eh 😀
Kalo kategori yg ini, agak serius bahasnya mbak. Kalo ada yg aneh2 biasanya masuk kategori catatan harian yg lbh ringan dan segar, terus kadang ada yg nyempil sedikit :lol
Bismillah, terimakasih tulisannya bang Slamet 🙂
Nah tentang boros, kadang saya bingung antara benda yang saya inginkan dan saya butuhkan 😅
Prioritaskan apa yg kamu butuhin dulu, itu jauh lbh mudah dan gak bingung.
udah 😂😂 tapi tetep aja hehehe
jadi ingat istilah ni tentang jakarta, katanya hidup di jakarta murah gaya hidupnya yang mahal jadi betapa bagusnya itu sederhana
Ayo sederhanakan kembali kehidupan, dimanapun itu, di Jakarta ataupun Jog-Jakarta 😀
Hidup minimalis rupanya bukan monopoli org relijius. Saya teringat tentang studi seorang teman mengenai anti materialisme. Di wilayah² dengan sekularisme tingkat dewa, rupanya ada orang yang secara sengaja hidup minimalis begitu. Mereka menerapkan pola hidup seperti membeli di kala hanya butuh, menghindari televisi (sebab iklannya begitu menggoda), bahkan ada yg menanam sendiri kebutuhan dapurnya.
Cuma bedanya, motivasi gerakan itu buka asketisme relijius, melainkan semacam anti kapitalisme dan hedonisme 🙂
Nah, berarti kaum relijius makin punya banyak alasan lagi untuk segera hidup minimalis 🙂
Thanks udah menambahkan mas 🙂
lagi trend nih minimalism kayak di jepang, saya jadi mahasiswa tiap tahun pindah2 kosan, karena iseng saya tanya ke teman lain kenapa ga pindah2, setelah lihat grup jual-beli kampus ternyata saya baru tau kalau salah satu alasan utama mereka ga pindah2 karna barang2 kosannya sulit dipindah2, lalu saya juga mulai berpikir untuk menambah2 isi kamar tapi ternyata tidak bisa penuh2 juga kayak yang lain, saya pikir saya hanya tidak butuh itu, di rumah juga kami tidak suka beli ini itu diluar kebutuhan dan kalau ada ya pake barang2 yang masih bisa dipakai
*oiya barang2nya kirim saja ke alamat saya mas LOL
Bagus! memang sebisa mungkin beli sesuatu sebatas kebutuhan saja. Haha kalo masih muat dikoper boleh Mas, tapi kalo enggak rencananya mw saya sumbangin sama yang membutuhkan disini. 🙂
Di awal baca tulisan ini, tertarik sama permintaan si Ra’biah.. Kirain ttg genie oh genie atau genie in the bottle. Tp mmg jgn apatis dulu sm maaf “orang miskin” hehe bnyk kok yg “kaya” maruk. Hehehe paling enak sih mmg hidup sederhana, cuma di era skrg itu godaannya berat bgt ya zzzZzZzz
Berat mbak, apalagi banyak tawaran2 menarik. Konsumtif banget jadinya.
Simplify your life! Gitu kata dosen saya. Hidup jangan dibikin ribet. Kalau mau sederhana yo jangan memandangnya ke atas terus ntar jatuhnya malah banyak keluhan. Lihat orang-orang yang kekurangan dan banding kan sama keadaan kita. Kalau kita jauh lebih baik dalam banyak hal maka nggak usah lagi pengen ini itu. Cukup disyukuri saja yang ada. Hidup jadi lebih enteng.
Sayang, aplikasi nya nggak semudah teori. Terutama pada anak2 dengan tingkat mupeng yang masih tinggi
Hehe iya Bu, itu memang susah bgt praktiknya… semoga aja bisa nyicil satu persatu dari sekarang.
Koq sy malah jadi ingat kata2 Deputi Statistik Sosial BPS RI:
Orang miskin itu nasibnya jadi 4 L: last, less, loose, lost
Sedih 😦
😦
Giliran saya yang berkunjung, Bang 🙂
Saya ingat tiga kecenderungan berpikir. (1) Awam, melihat segala sesuatunya sesuai dengan apa yang tampak saja; (2) Filosof, mencoba menyelami ‘apa yang nyata’ di balik apa ‘yang tampak’, menggali lebih dalam hakekat segala sesuatu, bahkan hingga yang abstrak; (3) Sosiolog, selalu menyelami problem sosial, membedahnya, lalu menelurkan solusinya, berdasarkan fakta-fakta yang terverifikasi.
Agamawan bisa ada di salah satu dari ketiganya. Bisa sebagai awam yang ‘take for granted’, bisa sebagai filosof yang ciamik menggali hikmah syariah, bisa juga sebagai sosiolog yang selalu terjun ke lapangan untuk memahami pelbagai problem sosial. Sedangkan Nabi Muhammad mempraktekkan ketiganya 🙂
Wah makasih mas, nambah wawasan banget ini… mantab!
Sama-sama Mas, tetap menulis yang inspiratif ya, saya suka bacanya 🙂
Eh ternyata…ada hal juga yang mencerahkan di tengah teriknya matahari Cikarang 😊
Terimakasih mas Slamet atas “minimalis” nya, patut dicoba tuh meski Cinta blm bisa hihi
Hehe hidup minimalis itu memang lbh mencerahkan kok mbak… monggo silahkan dicoba 🙂
Siyaaaap grakkk! ^__^7