Tidak Biasa

Sejak dua hari kemarin saya sibuk dengan acara pernikahan.

Tentunya bukan di acara pernikahan saya. Maklum, hanya sekedar jadi panita. Wis biasa. 🙂

Adalah acara pernikahan tetangga yang rumahnya hanya kurang dari seperlemparan batu. Tentu saja, jarak yang dekat ini membuat saya merasa wajib untuk ikut nimbrung, meskipun tidak tau apa yang akan saya lakukan nanti. Karena jujur saya sudah lama sekali tidak nyinom. 

Setelah hari pertama, sekedar bantu-bantu bikin tenda dan persiapan lain (termasuk bikin tungku besar buat njenang)

Hari kedua, saya menemukan peran yang tepat. Tukang njepret. Karena kebetulan yang punya gawe tidak menyiapkan tim dokumentasi khusus. Sebuah pilihan yang ‘tidak biasa’ di era digital seperti sekarang, yang mana sedikit-dikit perlu publikasi. Apalagi kedua mempelai masih terbilang ABG, yang perempuan masih under-20. Tentu saja di usia-usia mereka selfie-wefie-footfie dan semacamnya menjadi makanan sehari-hari. Apalagi momen seperti ini, pameran kemesrahan pun seakan menjadi tuntunan.

Pilihan yang tidak biasa lagi adalah ketika kedua mempelai tidak mau dirayakan momen bersejarah itu dengan pesta resepsi besar-besaran ala kampung yang kadang sampe  nanggap wayang/campursari berhari-hari. Dan mereka tidak.

Tidak biasa yang lain adalah konsep acaranya begitu sederhana dan ringkes. Dimulai setelah dhuhur selesai setelah ashar lebih sedikit. Itu sudah termasuk akad nikah dan acara inti. Tamu undangan hanya dari keluarga dan pihak besan, tak lebih dari 200 orang. Kemudian ditutup dengan acara pengajian dimalam harinya dengan mengundang tetangga 2 RT (acara siang hari hanya khusus keluarga).

Kemudian yang ‘tidak biasa’ lagi adalah pihak yang punya acara tidak menerima angpau (berupa uang) dari tamu undangan kecuali kado yang sudah terlanjur dibawa.Tentu, ini bukan karena takut dicekal sama KPK.

Ya, ini menjadi hal yang tidak biasa. Apalagi, tetangga saya ini anak perempuan ragil (bungsu) yang biasanya orang tua bernafsu untuk ‘perang puputan’ dengan pesta besar-besar bahkan yang tidak terlalu kenalpun ikut diundang.

Sudah menjadi rahasia umum, kalau acara pernikahan menjadi semacam ajang arisan. Ketika berani menyelenggarakan, maka suatu saat nanti harus mengembalikkan. Bahkan di beberapa daerah sampe dicatat besaran uang angpau setiap tamu, yang menjadi referensi berapa besar ‘uang setoran’ nanti.

Namun, diantara hal-hal tidak biasa tapi terasa luarbiasa  di atas. Ada satu hal ‘tak biasa’ yang perlu rasanya menjadi catatan.

Yakni, ada kesan pihak mempelai laki-laki wajib menyediakan ‘amunisi’ untuk pengiring pengantin laki-laki dan para sinoman. Yup, itu istilah yang di pakai Doni (sebut saja begitu) teman semasa kecil saya.

“Amunisi?? Opo kui?” tanya saya.

“Yaa… Ciu dan sejenisnya”

“What?!”

Hmm ntah ini menjadi hal biasa atau tidak untuk dilakukan oleh pemuda kampung saat ini. Tapi, yang jelas hal tersebut tidak ada beberapa tahun yang lalu. Dulu sekedar uang rokok itupun bagi yang merokok saja.

Duh.

49 thoughts on “Tidak Biasa

      • Ciu
        Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
        Ciu atau ciu rantai adalah sebutan bagi sejenis minuman beralkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi ketela pohon cair yang terbuang dalam proses pembuatan tapai (tetes tapai). Minuman ini khas dari daerah Desa Kebjaran, Sumpiuh, Banyumas dan Cikakak Ajibarang, Jawa Tengah, Indonesia, sebuah daerah di sekitar pinggiran kota Banyumas.

        innalillahiii :O

  1. eh, sampun kondur toh? 😀
    dari awal nebak kenapa bisa ada hal gak biasa gitu di nikahan anak jaman sekarang.
    emang itu masih desa banget gitu?

    baru denger ada mantenan pake bawa seperangkat ciu itu.
    itu di desa mas slamet kan?

  2. Wait..
    Saya udah wow wow kagum pas baca awalnya.. Eh tapi kok bawahnya???? Jadi di balik semua kesederhanaan itu, ada yg haram?

    Lah kok ya mendingan pestain sekalian toh. Lebih baik yg mubah daripada yg haram :(. Jgn2 ngirit itu karena kudu beli yg haram itu.. Kok ya jadi miris 😦

  3. Pesta sederhana hanya pasangan dan para keluarga.. oh,, impian saya. . . Lebih romantis lagi seandainya itu di suatu pulau ya.. sayang di rumah..

    Sampanye-wine-coctail berubah menjadi ciu.. hm hm, bagus sih supaya mendukung khas dalam negeri.

    Thumbs up deh buat wedding di deket rumah Mas Parmantos^^

  4. Kirain antimainstream karena nyunnah gitu.. eh ternyata ada ciu nya… tau ciu pun dr komen2an yg lain. Hm… sayang sekali ya

  5. Ciuuu? Istilah ini jadi pertanyaan besar di otak saya.. Wkwkwkw, ehh ternyata anggur merah dan sejenisnya. Hm, jadi pergeseran nilai sudah terjadi dimana-mana ya.. Tapi jangan khawatir, yang baik-baik juga masih banyak..

    Baca postingan ini jadi pengen nikah… Semoga yang nulis disegerakan juga ya…

  6. Kalo di kampung saya malah dulu banyak mas yang kayak gitu. Eh tapi nggak dikasih sebagai hantaran/amunisi gitu sih. Biasanya ada minuman keras gt setelah acara usai dan bapak-bapak kayak yang udah biasa nongkrong sampe shubuh gitu di tempat mantenannya.

  7. ooow… mungkin udah saatnya memulai hal baru.. minta amunisi wedang jahe aja… lebih menyehatkan :p

    Atau ganti uang rokok jadi uang gorengan

  8. Tangkling itu satu porsinya sepertinya banyak. Tapi karena cuma berisi sedikit tempelan daging kalau dimakan ya tidak banyak juga. Dan memang sajian tengkleng kadang terlihat menyeramkan karena bertumpuk tinggi di atas mangkok atau piring 🙂

Leave a comment