Eng ing eng…
Bismilahirahmanirrahim. Saya niatkan untuk memulai serial tulisan #CeritaBaba di blog ini. Blog bersahaja yang pernah menjadi perantara saya dari perjaka nelangsa menjadi seorang baba bahagia.
Baiklah. Ini dia #CeritaBaba edisi pertama.
Nenen. Pasti semua sudah tau. Jadi tidak perlu saya jelaskan spesifikasi maupun bentuknya. Dan mohon maap kalau misal istilah ini kurang sopan, saya sampai saat ini belum menemukaan padaan kata yang pas untuk menyebut kata benda-kerja satu ini. Tapi mari sebut saja begitu.
Ini cerita berawal dari sebuah perenungan pada suatu malam setelah beberapa hari anak saya Hanin lahir.
Ya, Alhamdulillah. Tahun ini, ada karunia Allah terbesar yang dipercayakan kepada saya dan istri. Seorang bayi perempuan, yang ketika saya melihatnya saya tak bisa berhenti untuk tidak jatuh hati. Namanya Hanin.
Menjadi orang tua, tentu menjadi sebuah pengalaman baru bagi kami. Bisa dikata, kami memulai fase hidup ini dari nol puthul. Teori pernah dengar dan baca, tapi praktiknya? paling mentok adalah dulu waktu kuliah di Jogja pernah ikut momong sebentar keponakan saya.
Dari nol puthul ini, mau tidak mau kami mesti berani nyoba mengasuh bayi dengan benar. Dari mandi, ganti popok, tentang memantau kesehatan bayi dan lain sebagainya.
Soal mengasuh anak, saya dan istri memang sudah bersepakat untuk mengasuh anak-anak kami bersama. Karena menurut kami, memang begitulah pakem-nya menjadi orang tua. Kalau ditanya porsi berapa persen keterlibatan saya (sebagai ayah) barangkali sulit. Karena nyaris yang dilakukan istri dalam mengasuh anak juga saya lakukan.
Tapi memang, ada satu hal yang tidak bisa saya lakukan. Sudah coba, tapi gagal. haha
NENEN
Yak. Nenen. Itu kadang bisa jadi kata benda, bisa jadi kata kerja. Nah kalau perempuan bisa bermakna keduanya. Nah kalau bagi laki-laki?
Kata istri saya suatu ketika,
“Ahh Mas tuh punya tapi sia-sia”
Yah, beitulah hakekat NENEN bagi laki-laki. Nasibnya seperti huruf “Ğ” dalam bahasa Turki. Wujudnya ada, tapi dianggap tidak ada. Persis.
Tapi jangan sombong dulu wahai kaum wanita…..
Seperti dalam judul tulisan ini. NENEN BUKANLAH SEGALANYA!
Ini saya sadari, pada suatu malam. Ketika tangisan Hanin tak henti-henti. Cerita istri saya esok harinya, dia sudah mencoba sebaik mungkin untuk memberi asupan ASI dengan beragam cara dan gaya. Tapi endingnya, si bayi mungil kami tetap menangis membahana.
Saya yang awalnya tertidur, akhirnya terbangun dan tertegun. Kenapa?
Karena, yang menagis bukan hanya bayi mungil kami. Tapi sang Mama-nya juga. Ia menangis sambil memangku Hanin yang sedang menangis.
Jadi malam itu, di pagi buta ada dua perempuan terkasih sedang menagis bersama.
Tanpa babibu, saya ambil alih Hanin. Saya gendong, saya ajak beberapa kali thowaf di kamar. Tangisannya mulai reda, tapi belum juga tidur.
Saya keluar kamar, saya ajak lagi dia thowaf keliling beranda sambil membacakan sholawat dengan lirik lir-ilir Sunan Kalijogo kesukaan saya. Hasilnya? sang anak tertidur. Pules sampai selepas shubuh.
Beda hari, ada kejadian yang hampir sama. Mamanya Hanin saat itu juga sudah mau nyerah tidak mengerti mau gimana. Kemudian saya ajak Hanin turun ke bawah main ayunan. Akhirnya tertidur. Setelah setengah jam sebelumnya sholawatan, tapi tidak mempan padanya.
Lain hari, begitu juga. Tapi kala itu, nenen sudah, sholawat sudah, ayunan sudah. Tapi senjata triple kill yang saya yakini ampuh untuk menenangkan bayi ternyata mental semua.
Dan solusi mutakhirnya ternyata tidak terduga.
Suara desing kompresor AC.
Lahh.
Dari kejadian demi kejaddian, dari malam ke malam yang telah kami lalui sampai malam ini. Kami bisa mengambil kesimpulan:
NENEN BUKANLAH SEGALANYA!
Kenapa begitu? ya faktanya di atas.
Dan juga, tidak semua bayi lahir dengan nenen (dan isinya) yang selalu tersedia.
Ada bayi yang terpaksa dikasih susu formula oleh sebab ASI yang tak kunjung keluar, ada bayi tidak dapat ASI karena sang ibu takut miliknya berubah bentuk, yang lebih ekstim ada bayi yang tidak mendapat ASI karena tidak jelas siapa ibunya.
Sehingga, nyata kalau nenen itu bukanlah segalanya.
Tapi NENEN ADALAH YANG UTAMA.
Dan kita (para suami di dunia) adalah guardian ASI agar selalu tersedia. Dengan cara? paling simple adalah jangan bikin stress isteri Anda. Karena stress mempengaruhi ketersedian ASI pada nenen seorang ibu menyusui.
Baik kembali lagi ke topik utama.
Kalau nenen dianggap segalanya, eh ndillah kok si bayi menolak (dengan tetap menangis terus-terusan) tentu ujungnya kecewa.
Dan itulah sebab mengapa istri saya malam itu dan mungkin juga yang dirasakan oleh ibu-ibu se-dunia:
Ditolak oleh bayinya sendiri.
Wong ditolak gebetan aja sakit. Ya tho, mblo?