Tinggalkanlah keramaian dan carilah hutan belantara yang luas, lalu arahkanlah pandanganmu kepada pemandangan yang indah menghampar.
Di pinggiran mata air renungkanlah riak air yang jernih tanpa rasa bosan.
Tataplah bunga Narjis yang manja dan ciumlah matanya yang indah bak mutiara [1].
Membaca tulisan Mas Shiq4 tentang berkebun, mengingatkan saya pada sebatang pohon durian yang saya tanam beberapa waktu lalu. Melengkapi dua pohon durian lain yang sudah rutin berbuah selama ini. Saya menanamnya di lahan yang baru saja digemburkan pada pagi hari yang cerah dengan basmallah dan cinta. Semoga Allah ikut menjaganya, hingga berbuah secukupnya saja 4-5 tahun kedepan.
Berkebun, menanam pohon-pohon bagi saya tidak sekedar bagian dari menyiapkan masa depan bagi keturunan saya nanti (investasi). Tapi sebagai pengingat dan pemberi pelajaran kelak ketika mereka dewasa.
Tak sekedar berkata;
“Nak, pohon durian ini ditanam saat ayahmu masih lajang dengan sepenuh cinta. Yang bahkan waktu itu Ayahmu masih ‘samar-samar’ tahu siapa calon ibumu. Kini pohon ini sudah tumbuh besar, berbuah lebat. Sekarang kau tinggal menikmati buah manisnya. Tapi jangan sekali-kali kau egois. Ajak juga teman-temanmu saat kau memetiknya.”
Bukan. Bukan sekedar itu, pun kata lajang di awal kalimat juga tak perlu ada di situ. Tapi, saya ingin pula menambahkan pesan ini. Pesan terpenting yang pernah ada.
“….Nak, janganlah kau mendatangi pohon durian ini saat musim buah saja. Di luar musim buahnya, kau sering-seringlah kesini. Rawatlah ia. Buang serangga dan tanaman penggangu yang kiranya menghambat perkembangannya. Lalu, selami baik-baik pohon ini dari akar hingga pucuk daun tertingi. Maka, kau akan teringat pesan Ayah di lain waktu. Yakni, tentang Pohon Tauhid [2]. Masih ingatkan?”
“Bila kau tak ingat, ayah pun tak akan pernah lelah mengingatkan pesan ini untukmu.
Cerna baik-baik.
Padanya, akar-akar kokohnya menghujam jauh ke dalam hati, cabangnya banyak karena amal-amal saleh yang menjulang tinggi ke langit, daun-daunnya lebat mengayomi sekitar, serta buahnya manis yang terus menurus berbuah -memberi manfaat pada orang lain.
Akar-akar yang kokoh adalah bentuk dari Syajaratus Tsabaat (Pohon Keteguhan). Yang mana bisa kau jadikan tempat berpegangan di hari manusia berpecah belah karena kencendrungan mereka berbeda-beda. Mencari selamat dengan meninggalkan semua golongan yang berpecah belah itu. Sekalipun kau harus menggigit akar pohon (yakni berpegang teguh pada prinsip meskipun hidup menderita) [3].
Pada cabang-cabangnya yang banyak menjulang kelangit adalah bentuk amal-amal kesalehan untuk sebuah Syajaratul Istighfar (Pohon Meminta Ampunan). Karena tak ada yang lebih layak daripada amal saleh untuk kau tukar dengan ampunan.
Daun-daun yang lebat memberi keteduhan. Maka berteduhlah di bawah naungannya. Karena tak hanya kau bisa terhalang dari sengatan panas matahari, tapi kau dapat mencium semerbak bau wewangian bunga, bersumberkan dari pohon yang disebut Syajaratul Tha’ah (Pohon Ketaatan). Pohon ini menjadi kesaksian kemenangan, kelimpahan kasih, dan ketenangan jiwa yang Allah berikan kepada manusia. Maka berjanji setialah di bawah keteduhannya, seperti janji-Nya yang akan memenangkan orang-orang beriman.
Kemudian pada buah-buahnya yang ranum dan manis kau akan dapati Syajaratut Tirhab (Pohon Penyambutan). Dimana dengan buah itu kau bisa makan, minum lagi bersenang hati seperti Maryam ketika dunia seakan menyempitkannya. Duniamu boleh jadi akan semakin sempit dan sulit, maka dengan buah dari Syajaratut Tirhab maka kau akan digembirakan. Maka, jangan terlampau bersedih. Bersabarlah. Tunggu masanya pohon itu berbuah lalu siap disantap bersama manis, teduh dan kuatnya pohon Tauhid ini.[4]”
Hari ini hujan lebih sering turun. Laron-laron kecil menyebul dari sarang-sarang yang terdalam. Pertanda hari-hari tidak sekedar kemarau basah, melainkan musim penghujan telah datang. Tugas penyiraman, sudah saatnya berpindah pada tangan Sang Pemberi Hujan.
[1] Syair At-Thabari dalam Diwan Risalatil Masyriq.
[2] QS Ibrahim: 24-25
[3] Shahih Bukhari
[4] QS Maryam: 25-26
Rujukan Kitab Ar-Raqa’iq karya Muhammad Ahmad ar-Rasyid